Senin, 28 Mei 2012

Lambatnya BOS 2011 dan Suksesnya BOS 2012

Oleh Prof. Suyanto, Ph.D
 
 
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sudah berusia tujuh tahun enam bulan sejak diluncurkan pertama kali sebagai kompensasi kenaikan bahan bakar minyak, di semester dua, bulan Juli 2005. Kebijakan BOS sebagai bantuan pendidikan untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun sangat tepat, karena yang disubsidi oleh program BOS adalah orang (siswa), bukan komoditas. Kalau yang disubsisdi komoditas, bisa saja program subsidi itu ada yang tidak tepat sasaran(inclusion error).
 
Dengan program BOS itulah Pemerintah Pusat untuk pertama kalinya dalam sejarah menggelontorkan uang untuk subsidi pendidikan dasar dalam jumlah uang yang sangat signifikan. Dari sejak awal diluncurkan, secara berturut turut jumlah total rupiah di APBN untuk BOS selalu meningkat. Pada tahun 2005 total BOS Rp. 5,13 Trilyun, kemudian naik secara signifikan berturut-turut menjadi:Rp.10,28 ntrilyun (2006); RP.9,80 Trilyun (2007); Rp.10,01 trilyun (2008); Rp.16,04 trilyun (2009); Rp.16,55 trilyun (2010); RP.16,81 trilyun (2011); dan Rp.23,59 trilyun (2012).Di tahun 2007 angka nominalnya turun dibanding dengan alokasi tahun 2006 karena mulai tahun itu BOS untuk madrasah dipindahkan pengelolaannya dari Depdiknas ke Depag. Disamping itu, BOS sejak tahun 2005 sampai saat ini telah mengalami kenaikan unit cost per siswa per tahun sebesar kurang lebih 300%.  
 
Mengapa B0S tahun 2012 ini naik secara signifikan? Jawabnya ialah agar kebutuhan sekolah akan biaya operasional tercukupi secara penuh. BOS tahun 2011 hanya bisa menutupi kebutuhan biaya operasional sebesar 70% untuk SD, dan 80% untuk SMP. Oleh karena itu pemerintah dengan persetujuan Komisi X DPR telah menaikkan BOS sebesar 40% di tahun 2012 ini dengan maksud supaya tidak ada lagi pungutan dalam bentuk apapun di SD dan SMP, kecuali bagi sekolah rintisan bertaraf internasioanal (RSBI). 
 
Oleh karena itu tahun ini semua Pemerintah Kabupaten/Kota harus memiliki ketegasan di daerahnya masing-masing untuk menegakkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 60 tahun 2011 yang pada hakikatnya semua sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, kecuali RSBI, dilarang melakukan pungutan uang terhadap siswa dalam bentuk apapun. Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota saat ini, sesuai dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, memiliki kewenangan penuh dan otonom dalam  mengatur, mengelola, dan mengawasi sektor pendidikan di daerah masing masing. Oleh karena itu Pemda kabupaten/kota saat ini harus bertindak tegas dalam mengawasi sekolah di wilayahnya agar tidak terjadi pungutan apapun bagi siswa yang menempuh pendidikan wajib belajar di SD dan  SMP sampai mereka tamat. Pendidikan jangan sampai dimanfaatkan untuk kepentingan politis secara kontra produktif dengan tujuan agar para penguasa daerah tetap berkuasa dan tetap populer dengan melakukan pembiaran terhadap pungutan di sekolah-sekolah. 
 
 
BOS 2011
Penyaluran BOS tahun 2011 bisa dikatakan lamban sekali. Inilah ongkos yang amat sangat mahal dalam sejarah yang diderita sektor pendidikan di era otonomi daerah. Ternyata daerah otonom di tingkat kabupten dan kota banyak yang tidak siap melaksanakan kewajibannya dalam memberikan layanan yang baik untuk sektor pendidikan. Meskipun uangnya ada, dan sudah ditransfer ke Kas Umum Kabupaten dan Kota, kenyataannya mereka sebagian besar gagal dan tidak bisa menyalurkan uang BOS ke sekolah tepat waktu. 
 
Untuk BOS triwulan ke tiga saja yang seharusnya selesai disalurkan tuntas paling lambat di pertengahan Juli 2011, sampai 3 Februari  2012, pukul 15.00 masih ada empat kabupaten yang belum mampu mencairkan BOS 2011 itu ke sekolah-sekolah yang seharusnya menerimanya. Jadi mereka terlambat 5 bulan. Begitu juga untuk triwulan ke empat, lebih parah lagi, sampai 3 Februari2012, pukul 15.00 masih ada 32 pemerintah kabupatan/kota yang masih menahan dana BOS di kantor kas umum daerahnya masing masing. Jadi mereka, 32 Pemkab/pemkot ini, terlambat  4 bulan dalam menyalurkan BOS 2011 untuk triwulan ke empat. Sungguh aneh bin ajaib hal ini terjadi karena kemacetan pencairan dana BOS 2011 di kabupaten/kota akhirnya telah disusul oleh cairnya BOS 2012 triwulan pertama sejak 4-19 Januari lalu, yang skenarionya disalurkan melalui pemerintah daerah provinsi. 
 
Kegagalan penyaluran BOS 2011 sebenarnya terletak pada lemahnya komitmen Pemda terhadap dunia pendidikan. Di samping itu Pemda yang gagal menyalurkan tepat waktu itu karena pada umumnya mereka tidak mau belajar dari pengalaman triwulan sebelumnya, dan juga tidak mau belajar kepada Pemda yang telah sukses menyalurkan tepat waktu. Jadi birokrasi di Pemda tidak bisa menjadikan dirinya sebagai learning organization. 
 
Di era BOS 2011, ada Pemda yang sangat tepat menyalurkan BOS, yaitu Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Di Banyumas, BOS 2011 selalu cair dua hari setelah dananya ditransfer dari kas umum negara (Kemkeu). Mengapa dia bisa? Karena Pemda Kabupaten Banyumas memiliki komitmen yang tinggi dan mau melakukan terobosan birokrasi sesuai aturan-aturan yang sebenarnya telah dipermudah dengan Permendagri dan Permendikbud, dan juga dengan Surat Edaran Bersama antara Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Aturan tata kelolanya sama, tetapi ada yang bisa melaksanakan dan ada yang tidak bisa melaksanakan pencairan BOS. Yang tidak bisa mencairkan itu justru merupakan sebagian besar dari pemda. 
 
Oleh karena itu persoalannya lebih terletak pada kualitas SDM dan perilaku birokrasi di daerah yang tidak match dengan semangat manajemen berbasis sekolah di sektor pendidikan. Jika keadaannya seperti ini, desentralisasi pendidikan sudah saatnya dikaji ulang sebagaimana juga telah diusulkan oleh beberapa anggota Komisi X DPR RI, dalam berbagai kesempatan rapat Kerja dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan akhir-akhir ini karena fenomena politik lokal di daerah banyak yang merugikan sektor pendidikan.
 
 
Sukses BOS 2012
Ada tiga sistem penyaluran BOS: (1) sistem 2005-2010; (2) sistem 2011; dan sistem penyaluran 2012. Pada sistem penyaluran pertama (2005-2010), BOS disalurkan dengan skema dekonsentrasi, sehingga BOS masih merupakan dana APBN yang melekat pada anggaran Depdiknas. Sistem penyaluran ini tidak pernah terlambat, meskipun tidak secepat sistem penyaluran 2012. 
 
Jadi di era itu tidak ada kepala sekolah harus hutang uang kepada koperasi atau siapapun untuk membiayai sekolah seperti pada tahun 2011 sebagai akibat terlambatnya pencairan dana BOS. Bahkan World Bank-pun tertarik dan terkesan pada program BOS dan ketepatan penyalurannya, sehingga ia mau membantu dana BOS di tahun 2009 dan 2010 dalam jumlah kurang lebih $ 600 juta dan $ 500 juta di tahun itu secara berturut turut. Begitu juga hasil audit BPKP menyatakan bahwa BOS memiliki kenerja yang baik: tepat jumlah, tepat waktu, dan tepat sasaran.
 
Sistem penyaluran BOS era 2005-2010 dipandang telah tidak sesuai dengan semangat otonomi daerah. Maka tahun 2011 itulah sistem penyaluran model ke dua mulai dilaksanakan. Untuk menegakkan asas desentralisasi maka disepakati antara Panitia Anggaran DPR dan Pemerintah agar dana BOS tidak lagi dijadikan sebagai dana APBN. Alasannya karena sektor pendidikan sudah didaerahkan. 
 
Prinsip penganggaran mengatakan bahwa urusan-urusan pemerintahan yang telah didaerahkan, maka anggarannya juga harus didaerahkan, dan masuk ke APBD. Setelah dilaksanakan ternyata gagal. Ketika gagalpun sekolah tak satupun ada yang kritis dan protes. Hal ini terjadi karena sekolah merupakan bagian dari Pemda, sehingga kepala sekolah lebih baik cari utangan untuk menutup kebutuhan operasional sekolah daripada protes ke bupati/walikota yang notabene adalah juga atasannya. 
 
Jadi skema transfer dana BOS ke Pemkab/Pemkot memang tidak cocok dilihat dari struktur organisasi Pemda itu sendiri dalam kaitannya dengan entitas organisasi pendidkan di daerah. Karena penyaluran dana BOS 2011 terbukti gagal, maka akhirnya pemerintah mencari cara lain, dan lahirlah cara penyaluran ketiga, yang merupakan bentuk hybrid dari cara pertama dan kedua. Semangat transfer ke daerah masih ada, tetapi transfernya ke tingkat provinsi. 
 
Provinsi sudah berpengalaman menyalurkan dengan model dekonsentrasi pada sistem penyaluran pertama (2005-2010) sehingga pada awal ditetapkan ada harapan BOS 2012 akan tepat waktu. Di samping itu untuk mengendalikan 33 provinsi jauh lebih mudah bagi Kemdikbud, jika dibandingkan untuk mengendalikan dan memonitor 497 kabupatan/kota ketika BOS disalurkan lewat Kabupaten/Kota. Di samping itu, secara hirarkhis organisatoris, entititas sekolah bukanlah merupakan bawahan Pemda Provinsi, sehingga Provinsi akan bekerja lebih cermat, lebih cepat, sebab kalau tidak akan diprotes sekolah atau Pemda Kabupaten/Kota. 
 
Benarlah adanya, BOS 2012 cair amat sangat cepat. Pada tanggal 19 Januari seluruh sekolah di republik ini telah menerima dana BOS triwulan pertama, dengan jumlah total kurang lebih Rp 5,6 triliun. Bahkan ada dua provinsi yang lebih awal dari target waktu yang ditentukan, 9-16 Januari 2012, yaitu Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jambi. Kedua provinsi itu bisa cair pada tanggal 4 dan 6 Januari 2012. Akhirnya secara berurutan disusul oleh 61 provinsi yang lain dengan urutan paling buncit adalah Provinsi Aceh, Papua, dan Papua Barat.  
 
Luar biasa sukses pencairan dana BOS 2012 ini, sementara BOS 2011 triwulan ke empat masih ada 64 kabupaten/kota yang belum atau malas mencairkan. Hal ini merupakan record yang pertama kali dalam sejarah program BOS, karena kalau dibandingkan suksesnya BOS era 2005-2010, tuntasnya pencairan triwulan pertama seperti saat ini baru bisa dicapai pada hari ke-77 sejak dana ditransfer oleh Kementerian Keuangan. Jadi pencairan BOS 2012 untuk triwulan pertama lebih cepat dua setengah bulan jika dibandingkan dengan suksesnya BOS 2005 – 2010. Saya yakin untuk triwulan kedua pada bulan April nanti juga akan mengulang sukses yang sama. Semoga begitu.
 
 
Prof. Suyanto, Ph.D
Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta,
Plt. Dirjen Pendidikan Dasar, Kemdikbud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar